Al-Imam Muhammad As-Syafi’i bin Idris yang lebih dikenal
dengan sebutan Imam Syafi’i adalah seorang anak keturunan Suku Quraisy yang
dilahirkan di kota Gaza dekat Yerussalem, beliau bernasab Muhammad bin Idris
bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin
Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin
Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Imam
Syafi’i adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Imam Syafi’i menjadi yatim setelah tidak lama dilahirkan,
sehingga ibunya yang bernama Fatimah, akhirnya memutuskan untuk hijrah kembali
ke tanah leluhur suaminya, yaitu Makkah Al-Mukaromah agar dapat tetap menjaga
hubungan dengan bangsa Quraisy terutama dengan Bani Hasyim dan Bani Muthollib yang masih bertalian nasab dengan anaknya.
Tinggal di lereng gunung dalam keadaan miskin dengan ibunya
tidak membuat Imam Syafi’i malu untuk mengais pelepah kurma, tulang unta,
pecahan genting untuk dijadikan media menulis dikarenakan tidak mampu untuk membeli
kertas.
Pada masa kecilnya Imam Syafi’i berguru pada Sufyan
Ats-Tsauri dan rekannya Abbad bin Katsir kemudian belajar kepada Bani Hudzail
untuk mendalami Bahasa Arab dan Syair, karena Bani Hudzail terkenal akan logat bahasanya yang dianggap masih murni pada saat itu
sehingga banyak syair-syair yang dapat dipelajari darinya.
Sekembalinya dari perkampungan Bani Hudzail Imam Syafi’i
mengalami kejadian yang mendorongnya untuk belajar Ilmu Fiqih, disaat beliau
mendendangkan syair sambil menikmati pemandangan bukit di sore hari tiba-tiba terdengan
suara “PERDALAM ILMU FIQIHMU” kemudian ditolehnya darimana suara itu berasal,
namu tidak ada seorangpun disekitarnya, sehingga Imam Syafi’i kecil
berlari ketakutan menuju perkotaan Makkah dan bertemu dengan Mufti Makkah yaitu Muslim bin
Khalid Zinjy, kemudian Mufti tersebut menanyai Imam Syafi’i kecil
“Hai nak, darimana kamu?” sapa beliau kepada Imam Syafi’i
“Dari lereng gunung mendalami bahasa arab dan mendendangkan
syair-syair” jawabnya,
“Kamu tinggal dimana? Dan termasuk keluarga siapa?”
“Aku tinggal di lereng gunung dari Bani Abdi Manaf”
“Bagus! Bagus! Sungguh Allah akan memuliakan dirimu di
dunia dan akhirat karena kamu berasal dari keturunan yang mulia.
Tapi,
alangkah bagusnya jika kamu mendalami Ilmu Fiqih”
Dan peristiwa inilah yang membuat Imam Syafi’i bersemangat
untuk mendalami Ilmu Fiqih, kemudian dia memulainya dengan meminjam kitab
Al-Muwaththa karya Imam Malik bin Anas dari seorang penduduk Makkah yang pada
saat itu kitab ini sangat dikagumi dan dikaji oleh semua kalangan, kemudian beliau dengan
kecerdasannya mampu menghafal kitab tersebut hanya dalam tempo 9 Hari, dan
belajar pada para Ulama Makkah sehingga di umurnya yang baru 15 Tahun, para
gurunya sudah mengijinkannya memberikan fatwa di Masjidi Haram.
Prestasi tersebut belum pernah dicapai seorangpun dan tidak akan
pernah bisa disamai oleh orang setelahnya, namun sikap haus akan ilmunya tidak
membuat Imam Syafi’i berpuas diri dan memutuskan untuk hijrah ke Madinah untuk
menimba ilmu kepada sosok idolanya yaitu Imam Malik bin Anas.
Berangkatlah Imam Syafi’i ke Madinah dengan membawa surat
pengantar dari gubernur Makkah untuk gubernur Madinah agar menitipkannya kepada
Imam Malik, Imam Syafi’i meninggalkan Guru, Murid, Keluarga dan ibunya dengan
penuh tangisan karena perantauannya ini tidak tahu kapan berakhir, apakah bisa
kembali, ataukah mati ditengah perantauannya karena kehabisan ongkos di kota
Madinah, namun semangat belajarnya tidak menyusutkan niatnya bahkan membakar
semangatnya untuk menggapai cita-cita. Beliau Berkata:
Aku
akan pergi menjelajah seluruh negara
Akan
kugapai semua cita-citaku
Atau aku
akan mati, sebagai orang rantau
Bila
aku mati maka kebajikanya bagi Allah
Dan
bila selamat, kembali pulang ke tanah air tidak kan lama.
Imam Syafi’i melalui panas terik gurun, dan dinginnya
padang pasir mengingatkan beliau akan peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah
menuju Madinah, sehingga sampainya di Madinah beliau memasuki kota tersebut
dengan hormat dan tawadhu’ karena di tanah ini disemayamkan tubuh Baginda Nabi
Muhammad SAW.
Setelah sholat di Masjid Nabawi dan berziarah ke makam Rasulullah barulah menghadap Gubernur Madinah dan menyerahkan surat tersebut.
Kemudian setelah membaca isi surat tersebut sang Gubernur menatap Imam Syafi’i
dan berkata “Ketahuilah nak, sungguh berjalan dari jantung kota madinah ke
jantung kota makkah masih lebih mudah daripada berjalan menuju pintu rumah Imam
Malik”.
Maka diantarlah Imam Syafi’i untuk belajar kepada Imam
Malik, Selain belajar Imam Syafi'i juga membantu Imam Malik mengajar dan membacakan kitab Al-Muwaththa yang
beliau hafalkan di Makkah dan membuat Imam Malik kagum terhadap bacaanya,
adapun beberapa ulama madinah yang sempat dijadikan tempat menuntut ilmu Imam
Syafi’i adalah Imam Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshori, Imam Abdul Aziz bin Muhammad
Ad-Darowardi, Imam Ibrahimm bin Abi Yahya Al-Asaamy, Imam Muhammad bin Sa’id
dan Imam Abdullah bin Nafi’ Al-Shaaikh.
Tidak terasa 8 Bulan menetap di Madinah membuat Imam Syafi’i
ingin melanjutkan perantauannya setelah berjumpa dengan seseorang pemuda yang
melaksanakan haji, kemudian ziarah ke makam Rasulullah, biasanya para jamaah
haji ini akan menuntut ilmu dan bermukim di kediaman Imam Malik, maka Imam
Syafi’i bertanya pada pemuda kuffah asal negeri Iraq ini siapakah orang alim
yang ada disana, dan dijawablah “ada Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad bin
Hasan, keduanya adalah murid Imam Abu Hanifah”. Maka Imam Syafi’i memantapkan hati
untuk ikut berhijrah ke Iraq bersama rombongan tersebut setelah meminta izin
kepada Imam Malik.
24 Hari perjalanan Imam Syafi’i menuju kuffah, di Iraq
beliau tinggal dan belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, beliau juga belajar
kepada Imam Abu Yusuf, dari kedua Imam tersebut Imam Syafi’i belajar mengenai
pola pikir Imam Abu Hanifah dan membandingkannya dengan pemikiran Imam Malik, maka
semakin tampaklah kecerdasannya. Setelah dirasa cukup tinggal di kuffah beliau melanjutkan
perjalanannya menuju persia (Iran), dan sekitarnya, lalu kembali ke Iraq namun
ke kota Baghdad, dan menjelajahi penjuru Iraq sampai akhirnya menuju ke
Palestina negeri kelahiran beliau dan tinggal di kota Ramlah.
Di Kota Ramlah beliau berjumpa dengan rombongan dari
madinah dan bercerita mengenai keadaan gurunya Imam Malik sehingga membuatnya
rindu dan berangkat dari Ramlah(Palestina) menuju kota Madinah. Sesampai di Di Madinah Imam Syafi'i melihat sang guru sedang mengajar ilmu dengan dikelilingi murid-muridnya, maka beliau duduk membaur dengan para murid lainnya, seperti biasa Imam Malik memberikan pertanyaan kepada murid-muridnya tetapi tidak ada satupun yang dapat menjawabnya, karena geram akhirnya Imam Syafi'i membisikkan jawaban kepada murid disebelahnya, maka mendengar jawaban itu Imam Malik heran "Wahai murid darimana kamu mendapatkan jawaban itu?" maka sang murid menjawab "dari pemuda disebelahku wahai guru" maka Imam malik langsung berdiri begitu melihat Imam Syafi'i kemudian memeluknya dan menyuruhnya duduk di kursinya untuk menggantikannya mengajar, dan Imam Malik duduk dibawah ingin mendengar murid kesayangannya mengajar, Imam
Malik sangat gembira dapat bertemu dengan muridnya yang telah pergi selama dua
tahun, kemudian Imam Syafi’i tinggal di Madinah selama 4 tahun dan menggantikan
Imam Malik yang wafat.
Di usianya yang ke 29 Imam Syafi’i menikahi seorang gadis cucu Khalifah Utsman bin Affan, yaitu Hamidah binti Nafi’, kemudian dari pernikahannya membuat Imam Syafi’i harus hijrah ke Yaman untuk bekerja mengabdi kepada gubernur Yaman, disana Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ilmuwan khususnya ilmu perbintangan, disinilah ujian datang kepada Imam Syafi’i yaitu sebuah fitnah yang membuatnya harus ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap raja Harun Al-Rasyid.
Di usianya yang ke 29 Imam Syafi’i menikahi seorang gadis cucu Khalifah Utsman bin Affan, yaitu Hamidah binti Nafi’, kemudian dari pernikahannya membuat Imam Syafi’i harus hijrah ke Yaman untuk bekerja mengabdi kepada gubernur Yaman, disana Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ilmuwan khususnya ilmu perbintangan, disinilah ujian datang kepada Imam Syafi’i yaitu sebuah fitnah yang membuatnya harus ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap raja Harun Al-Rasyid.
Sesampai disana Raja Harun Al-Rasyid mendengarkan pembelaan
Imam Syafi’i yang kemudian memutuskan bahwa beliau tidak bersalah dan meminta
Nasehat kepada Imam Syafi’i yang membuatnya menangis. Kemudian Imam Syafi’i
yang berada di Baghdad berkunjung Kuffah untuk bertemu dengan dua gurunya Imam
Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, disana beliau sering berdiskusi dan
mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran dan kajian-kajian beliau dalam
beberapa kitab yang dikemudian hari pendapat tersebut menjadi rujukan dan
disebut Madzhab (pemikiran).
Setelah lama merantau dari umur 17 tahun hingga umur diatas 30an, terasa kerinduan yang memuncak untuk kembali ke tanah air menemui ibunya tercinta, maka kepulangan Imam Syafi’i ke Makkah ini terdengar oleh rakyat Makkah dan mereka menyiapkan penyambutan karena berkat pemikirannya yang terkenal diseluruh penjuru Islam, menjadikan kebanggaan tersendiri penduduk Makkah.
Imam Syafi’i berangkat dari Makkah dengan tidak membawa
apa-apa begitupun juga saat beliau pulang ke Makkah setelah berpuluh tahun
merantau, beliau membagikan semua hadiah dari kuffah kepada rakyat Makkah dan
menghadap kepada Ibundanya dengan keadaan kosong namun membawa ilmu,
pengetahuan dan pengalaman yang berharga.
Setelah 15 tahun mengabdi pada baitullah jiwa perantau Imam Syafi’i tergerak untuk merantau kembali, namun kali ini beliau membawa semua keluarganya ke Iraq, setelah menetap selama satu bulan, hati beliau tergerak untuk menuju ke Mesir, sebelum berangkat beliau pamit kepada para santri beliau, Imam Ahmad bin Hambal mengkordinir para santri untuk mengantarkan Imam Syafi’i menuju ke perbatasan kota dan Imam Syafi’i bersyair:
Sungguh jiwaku saat ini sangat merindukan mesir
Serta
Semua sahara dan padang tandusnya.
Demi
Allah, Aku tidak tahu apakah keberuntungan
Dan
Kekayaan, aku diarahkan kesana
Ataukah,
aku akan menyambut kematian.
Mendengar syair ini para murid Imam Syafi’i menangis dan merasa bahwa ini adalah terakhir kalinya perjumpaan dengan Imam Syafi’i.
Sampai di Mesir, ke esokan harinya beliau menerima tamu para ulama Mesir dan santri beliau yang berada di Mesir, dipimpin oleh Abdullah bin Hikam seorang santri yang dulu belajar kitab Al-Muwaththa di Madinah.
Pada saat menyebutkan beberapa masalah yang terdapat perbedaan pendapat dengan pengikut Imam Malik maka para pengikut Imam Malik mengingkari penjelasan beliau, dan beliau berkata
“Adakah aku tebar mutiara antara penggembala kambing
Adakah aku untai kata-kata untuk penggembala kambing
Demi pemberi umurku, bila aku tersia-siakan di negeri
paling buruk ini
Aku tidak akan menyia-nyiakan mutiara kata pada mereka
Sungguh bila Allah Sang Maha Mulia memberiku kemudahan
dengan kasihNya
Aku akan temui semua ahi ilmu dan hikmah Aku akan menebar
ilmu yang manfaat
Aku pun akan menuai cinta kasih mereka
Bila tidak begitu, akan tetap bisa menyimpannya
Barang siapa memberi ilmu pada orang yang tidak mengerti
Berarti dia telah menyia-nyiakan ilmu
Barangsiapa yang menghalangi orang yang berhak menerima
ilmu
Berarti dia telah menganiaya ilmu”
Maka murid Imam Syafi’i yang bernama Abdullah ini sadar bahwa ilmu hanya untuk mencari kebenaran bukan permusuhan. Maka, Abdullah mengusulkan untuk mengadakan diskusi dan mengkaji kebenaran masing-masing pendapat.
Rutinitas Imam Syafi’i dihabiskan untuk mengajar ilmu di mesir, mengoreksi beberapa fatwa terdahulu bahkan mencabutnya saat diketahui fatwa itu terdapat kesalahan atau tidak sesuai, beliau juga menyempatkan diri menulis dan mengarang kitab yang berisikan pemikiran baru beliau.
Wasir (Ambien) adalah salah satu penyakit yang diderita
beliau bertahun-tahun, sering kambuh namun tetap mengajar murid-muridnya bahkan
sampai tempat duduknya dipenuhi oleh darah. Hingga suatu hari beliau kekurangan
darah dan dijenguk oleh Al-Muzanny menanyakan keadaan beliau lalu dijawab
“Sungguh, aku akan pergi meninggalkan kehidupan dunia, berpisah dengan semua rekan dan akan meneguk cawan kematian, lalu aku kehadirat Allah Sang Maha Agung. Sungguh aku tidak tahu, apakah jiwaku akan pergi ke surga atau neraka?” dengan aliran air mata yang membasahi pipi.
“Sungguh, aku akan pergi meninggalkan kehidupan dunia, berpisah dengan semua rekan dan akan meneguk cawan kematian, lalu aku kehadirat Allah Sang Maha Agung. Sungguh aku tidak tahu, apakah jiwaku akan pergi ke surga atau neraka?” dengan aliran air mata yang membasahi pipi.
Malam Jumat, akhir bulan Rajab tahun 204 H. Setelah shalat Isya’, beliau menghembuskan nafas terakhir dan gemparlah penduduk mesir mendengar kematian beliau, ribuan orang datang melayat. Selepas Ashar baru diberangkatkan ke pemakaman kecil yang dulu dikenal dengan sebutan “Turbah Ahlil Hikam”.