Perpindahan (Tahwil) Qiblat
Perpindahan Qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah terjadi pada bulan Sya’ban. Sebelumnya Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menantikan dengan keinginan kuat (Raghbah Qawiyyah). Setiap hari wajahnya sering kali mengadah ke langit menanti wahyu Rabbani sampai akhirnya Allah Menentramkan mata Beliau dengan mengabulkan harapan dan keinginan. Turunlah firman Allah:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ , فَلَنُوَلِّيَـنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْـتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya“ QS. Al-Baqarah:144.
Ini sejalan dengan firman Allah: وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَي “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas” QS. Ad-Dhuha: 5.
Dan dengan begitu ungkapan Aisyah radhiallahu anha kepada Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjadi kenyataan:
مَاأَرَى رَبَّكَ إِلاَّ يُسَارِعُ فِى هَـوَاكَ “Saya tidak melihat Tuhanmu kecuali segera melaksanakan keinginanmu“. (HR.Bukhari)
Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ridha kecuali hal yang juga diridhai Allah.
Abu Hatim al-Busti berkata: [Kaum muslimin shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari sempurna terhitung dari kedatangan Beliau shallallahu alaihi wa sallam pada hari Senin 12 Rabiul Awwal dan kemudian Allah memerintahkan menghadap Ka’bah pada hari selasa pada pertengahan (15) Sya’ban.
Bulan Sya’ban termasuk dalam jajaran bulan – bulan agung dan masa – masa yang mulia. Bulan yang keberkahannya sudah dikenal. Kebaikan – kebaikannya sempurna. Taubat di dalamnya adalah harta rampasan indah dan terbesar. Ketaatan di sana merupakan harta perdagangan yang sangat menguntungkan. Bulan ini memang dijadikan oleh Allah sebagai simpanan masa dan memberikan jaminan keamanan bagi orang yang bertaubat di dalamnya. Barang siapa di sini melatih dirinya bersungguh – sungguh dalam ibadah (ijtihad) maka pada bulan Ramadhan ia akan mendapat keberuntungan berupa kebiasaan yang baik (Husnul I’tiyad). Disebut Sya’ban karena dari sanalah muncul banyak cabang kebaikan. Atau dari kata Sy’aa Baana (tersebar dan jelas). Atau dari Syi’ib, jalan yang baik di pegunungan. Atau dari Sya’ab, tambalan. Maksudnya, pada bulan ini Allah menambal hati – hati yang kecewa.
Ketika merayakan Maulid Nabawi, merayakan Hijrah, Isra’ Mi’raj dan Bulan Sya’ban, pada hakikatnya kita mengajak manusia agar menyambung akal, hati dan perasaan mereka dengan hakikat-hakikat dan kejadian-kejadian yang memenuhi bentangan masa. Jadi bukan semata-mata mengagungkan perayaan tersebut. Sungguh yang diagungkan hanyalah Allah, Dzat Pembuat masa dan tempat seperti layaknya seorang hamba mengagungkan Tuhan Penciptanya dan pengagungan terhadap orang yang menjadi sebab terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, orang yang menjalani dan terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa tersebut, pengagungan sang pecinta kepada manusia yang dicintainya, dan pengagungan kepada pemilik keutamaan, manusia yang dipilih Allah agar menjadi pelaku peristiwa-peristiwa tersebut.
Kitab Madza Fii Sya'ban, Al Muhaddist Al Musnid Prof. Dr. Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Makkah Al Mukarramah