Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud r.a. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat sepotong besi yang dibakar di tungku perapian besi dalam keadaan merah membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan seketika. Setelah siuman, Rabi’ ditanya, lalu menjawab, “Saya ingat keadaan penduduk neraka (yang sedang dibakar)di neraka”.
Sebuah kejadian yang sangat aneh pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia menjalankan salat, dan dia tidak bergeming sedikitpun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya”. Api yang amat besar sangat menggelisahkanku dari pada api ini” jawabnya.
Terkadang kondisi ghaibah disebabkan oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut perbedaan ahwal-nya
Keadaan(hal) yang mengawali Abu Hafsh An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya dimulai dari peristiwa pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dia dengar dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa tentang “rasa “ saat suatu warid datang menguasai jiwanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.
Saya pernah mendengar Abu Nasher, seorang muazin Naisabur yang sangat saleh, menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah baca Al-Qur’an di majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat mempengaruhi hati sya. Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah utuk melaksanakan ibadah haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika beliau masih tinggal di Naisabur sayalah yang melayani keperluan beliau juga membacakan Al-Quran di majelisnya. Suatu hari saya melihat beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa (meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini”, sambutnya sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali.”Saya baru melihatmu, siapakah Anda?”.
Subhanallah!Permohonan bantuan memang hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan , saya baru melihatmu…!”
Adapun Hadhur adalah keberadaan “hadir” bersama Al-Haqq karena jka seseorang mengalami ghaibah (gaib) dari keberadaan semua makhluk, maka dia “hadir” (hadhur) bersama Al-Haqq. Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan Al-Haqq (zikir) pada hatinya. Dia hadir dengan hatinya dihadapan Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah-annya dari keberadaan makhluk menjadikannya hadhur(hadir) bersama Al-Haqq. Jika semua yang ada ini pada sirna, maka keberadaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya. Jika dikatakan “fulan hadir”, artinya dia hadir dengan hatinya ke haribaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam ke-hadhur-annya segalanya menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan curahan sejumlah makna( pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan ketuhanan) yang dikhususkan Allah untuknya.
Terkadang dikatakan (bahwa keberadaan hadhur) dikarenakan kembalinya Salik pada rasanya dengan ahwal jiwanya, dan ahwal kemakhlukan yang kembali (kepada Tuhannya)dari alam ghaibah-nya. Yang pertama hadhur denganAl-Haqq, dan yang kedua hadhur dengan makhluk. Ahwal manusia dalam maqam ghaibah berbeda-beda. Sebagian mengalaminya tidak terlalu lama, sebagian lagi dalam masa yang abadi (sampai mati).
Dikisahkan bahwa DzunNun Al-Mishri, seorang guru sufi besar, pernah mengutus seseorang dari pengikutnya datang ke rumah Abu Yazid Al-Busthami untuk mempelajari sifat-sifatnya. Setibanya di kota Bustham, utusan ini bertanya pada seseorang tentang rumah Abu Yazid, kemudian pergi menuju tempat yang ditunjuk dan bertamu kerumahnya. Di sana terjadi dialog teologis yang sangat menawan.
“Apa yang kamu kehendaki?” Tanya Abu Yazid
“Tuan Abu Yazid.”
Siapakah Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Saya sendiri dalam pencarian Abu Yazid?”
Utusan ini keluar seraya berteriak, “Dia Gila!” Kemudian dia kembali ke rumah gurunya, Dzun Nun dan melaporkan semua yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nun menangis, “Saudaraku. Abu Yazid telah pergi bersama orang-orang yang pergi menuju Allah.”