Banyak para penempuh bangga dengan pengalaman ruhaninya, lalu ia mandeg dalam kepuasan dirinya, dan ketakjubannya.
Banyak para penempuh yang mengungkapkan kedalaman batinnya, lalu ia kehilangan keikhlasannya.
Banyak para penempuh yang gembira dengan capaian hakikatnya, padahal ia baru tahap proses awal perjalanannya.
Karena itu, benarlah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs, “Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.” Pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri anda, dan biar Allah Swt saja yang Tahu. Karena pengalaman itu datangnya memang dari Allah Swt, bukan dari dirimu, bukan dari amal dan maqommu.
Ibnu Atahaillah selanjutnya menegaskan:
“Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, kecuali anda melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu. Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah menurut batas keserasian (standar) ilmu.” Inilah etika sang penempuh, ketika menerima dan meminta tolong pada sesama, perihal soal harta benda. Sang penempuh (murid) mesti melihat bahwa sang pemberi adalah Allah Swt, bukan makhluk. Itu pun sebatas kewajaran yang dibutuhkan seketika itu, menurut standar pengetahuan agama.
Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai sikap rakus dan ambisi, penuh dengan cinta duniawi. Karena itu semua bisa melahirkan cobaan.