Orang awam berada dalam tutup ( sitr).
Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi ( tajalli).
Dalam suatu hadis, Allah SWT apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu,
maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya.
Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan khusus dalam ruhani) merupakan rahmat.
Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang
Maha Diraja Hakikat.
Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa :
“Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gadis itu berjalan di kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudian pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap apa
yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat menemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli),
sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr).
Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah SWT berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.