Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi , adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari as-Saqathi. Ia adalah teman akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar aliran “waras” sufisme. Ia telah mengembangkan sebuah doktrin theosofi yang mempengaruhi keseluruhan mistisme ortodoks Islam. Teorinya yang dijelaskannya kepada tokoh-tokoh semasanya masih dapat kita temukan hingga saat ini. Ia meninggal pada tahun 198H/910 M di Baghdad, sebagai ketua dari sebuah aliran yang besar dan berpengaruh luas.
MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI
Sejak kecil Abul Qasim al-Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Abul Qasim al-Junaid mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?, tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya,” ayahnya menjelaskan.
“Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya.” Junaid berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainnya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?.” Terdengar sahutan dari dalam.
“Junaid,” jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini.”
“Aku tidak mau menerimanya,” Sari menyahut.
“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,” Junaid berseru.
“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?.” Sari as-Saqathi bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu,” Jawab Junaid,” karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya.”
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu.”
Sambil berkata demikian Sari as-Saqathi membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.
Abul Qasim al-Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari as-Saqathi membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“Kemukakan pula pendapatmu,” Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran .”
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati.” Keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
Sari as-Saqathi berkata pada Junaid.
“Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu.”
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?.” Sari bertanya kepadanya.
“Dengan duduk mendengarkanmu,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tokonya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus raka’at. Tapi akhirnya, usaha itu ditinggalkannya dan ia langsung mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya. Dan di situ pula ia membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah yang terpikirkannya.
JUNAID DI UJI
Selama empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa perlu berwudlu lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku “ Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh : “Ya Allah, dosa apakah yang dilakukan Junaid?.” Suara itu menjawab : “Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?.”
Abul Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apakah manusia belum patut untuk menemui Tuhannya,” bisik Abul Qasim al-Junaid.”
Abul Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti,” jawab Khalifah.
Kebetulan sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pegilah ke tempat Abul Qasim al-Junaid,” khalifah memerintahkan hamba perempuannya,
“Berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid : “Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah.
Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu.”
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Abul Qasim al-Junaid. Si gadis menemui Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim al-Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya dan Abul Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!.” Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya ,” khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya,” ia berkata.
Setelah bertemu dengan Abul Qasim al-Junaid, khalifah bertanya :
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?.”
“Wahai pangeran kaum Muslimin,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!.”
“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul Qasim al-Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini, telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku.” “Selama tiga tahun,” Abul Qasim al-Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu.
New
Kisah Syeikh Junaid Al-Baghdadi
Artikel
Label:
Al-Imam Junaid Al-Baghdadi,
Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar