بسم الله الرّحمن الرّحيم
Suatu hari Sayidina Abdullah bin Syeikh Alaydrus duduk bercakap-cakap dengan para sahabatnya. Tiba-tiba beliau bertanya, “Adakah dermawan yang lebih murah hati daripada aku?”
Dua kali pertanyaan ini diajukan, tetapi semua diam, tidak ada seorang pun yang berani menjawab. Namun, kemudian ada salah seorang dari mereka berkata, “Ya sayyidiy, ada yang lebih murah hati daripada engkau.”
“Siapa dia?”
“Dia tak begitu dikenal.”
“Kau harus memberitahukan siapa orang itu. Tak ada alasan untuk menyembunyikannya dariku.”
“Dia adalah seorang lelaki lemah bernama Ba Misbah, tinggal di Kholif. Dia lebih murah hati daripada engkau.”
“Apa pekerjaan laki-laki ini?”
“Tukang celup pakaian.”
Setelah hari malam, Habib Abdullah menyamar sebagai wanita, lalu pergi ke rumah Ba Misbah di Kholif. Sesampainya di sana, beliau mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa…?” tanya Ba Misbah.
“Aku seorang syarifah alawiyah. Aku butuh sesuatu darimu.”
Dengan perasaan senang, ia segera keluar menemui beliau.
“Selamat datang wahai syarifah, segala puji syukur bagi Allah yang telah memilih kami untuk memenuhi kebutuhanmu...” katanya setelah membuka pintu. Malam itu kebetulan adalah malam Idul Adha.
“Ya sayyidatiy, apakah kebutuhanmu, mintalah semua yang kau butuhkan. Hamba akan patuh kepadamu.” kata Ba Misbah.
“Aku adalah seorang syarifah yang miskin. Anakku banyak. Aku tidak memiliki ayah, saudara maupun suami. Besok hari raya, tapi kami tak memiliki apa-apa.”
“Marhaba… Permintaan yang mudah bagi pelayanmu ini. Lalu apa yang kau inginkan?”
“Aku butuh makanan dan beras.”
“Siap!” ia lalu memberikan dua karung makanan dan dua karung beras.
Habib Abdullah tidak membawa barang itu pulang ke rumah, tapi beliau pergi ke belakang rumah Ba Misbah, lalu meletakkan makanan dan beras tersebut di sana. Beliau menunggu hingga Ba Misbah naik ke tingkat paling atas dari rumahnya. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur, beliau kembali ke rumah Ba Misbah, mengetuk pintunya.
“Siapa?” tanya Ba Misbah.
“Hababahmu, Syarifah yang tadi datang ke sini. Aku masih ada kebutuhan yang lupa kusampaikan kepadamu.”
“Selamat datang sayyidatiy, puji syukur bagi Allah yang telah memilih aku untuk memenuhi kebutuhanmu. Ini sebuah nikmat yang agung” Ia segera menemui Habib Abdullah dengan perasaan senang dan bahagia.
“Ya sayyidatiy, mintalah apa yang kau perlukan, aku adalah abdimu, milikmu”, katanya setelah membuka pintu.
“Aku lupa, kami berempat di rumah tidak memiliki pakaian. Aku butuh pakaian.”
“Siap...” ia lalu mengambilkan 4 pakaian yang telah dicelup dan bergambar. Pakaian-pakaian itu berkualitas tinggi, dan pakaian terbaik bagi wanita zaman itu adalah yang bergambar.
Habib Abdullah membawa pakaian tersebut ke belakang rumah Ba Misbah dan meletakkannya di tempat yang sama. Beliau mulai takjub dengan kebaikan akhlak Ba Misbah. Sebab, meski diganggu di malam hari, ia tidak merasa susah dan jengkel. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, Habib Abdullah kembali ke rumah Ba Misbah untuk yang ke tiga kalinya.
Beliau mengetuk pintu rumahnya. Ba Misbah segera bangun dan bertanya, “Siapakah yang di luar?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Aku lupa, masih ada satu kebutuhan lagi yang belum kusampaikan kepadamu.”
“Selamat datang, segala puji bagi Allah yang telah memilihku untuk memenuhi kebutuhanmu” Ba Misbah segera keluar menemui Habib Abdullah dengan perasaan lebih senang dan bahagia dari sebelumya. Ia membukakan pintu seakan-akan Habib Abdullah baru pertama kali datang ke rumahnya.
“Ya sayyidatiy…, wahai penyejuk hatiku…, mintalah apa yang engkau butuhkan, pelayanmu ini akan selalu patuh. Apa gerangan kebutuhamu sekarang?”
“Aku butuh minyak zaitun, minyak samin, dan beberapa kurma.”
“Marhaba… Setiap kali kau butuh sesuatu mintalah kepadaku.” Ba Misbah segera mengambilkan satu kantong minyak zaitun, satu kantong minyak samin, satu wadah kurma.
“Ya sayyidatiy, ambillah barang-barang ini. Maafkan aku telah meyusahkanmu lantaran engkau lupa menyebutkan semua kebutuhanmu. Jika masih ada yang terlupa, kembalilah kemari. Kedatanganmu ke rumahku ini merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah padaku.”
Habib Abdullah mengambil semua pemberiannya, lalu pergi ke belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah takjub melihat kebaikan akhlak Ba Misbah dan mukanya tidak berubah. Beberapa saat kemudian, setelah beliau yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, beliau kembali mengetuk pintu rumahnya. Beliau ingin melihat sifat buruknya, atau perubahan wajah Ba Misbah.
Ba misbah segera bangun dari tidurnya dan bertanya, ”Siapa itu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Masih ada keperluanku yang terlupakan. Cepatlah kemari.”
Ba Misbah segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia, seakan-akan baru pertama kali syarifah itu mengetuk pintu rumahnya.
“Selamat datang sayyidatiy, penyejuk hatiku. Segala puji bagi Allah yang telah mengistimewakanku dengan bolak-baliknya engkau ke rumahku. Mintalah apa yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Dan memenuhi semua kebutuhanmu adalah puncak cita-citaku.”
“Masih ada kebutuhan yang terlupakan olehku.”
“Apa itu? Semua yang engkau butuhkan akan kusediakan. Jika tidak ada di sini, aku akan menjual diriku untuk membeli barang yang kau butuhkan.”
“Aku butuh daging untuk hari raya besok. Besok hari raya, tapi kami tidak memiliki sesuatu pun.”
“Demi Allah, di rumah pelayanmu ini tidak ada sesuatu pun kecuali satu kepala kambing untuk hari raya anak-anaknya”, kata Ba Misbah sambil memegang janggutnya, “Akan tetapi tidaklah benar jika anak-anak orang yang kopiahnya bau ini menikmati hari raya, sementara anak cucu Rasulullah SAW tidak berhari raya. Ambillah kepala kambing ini, dan berhari rayalah dengan anak-anakmu.”
Habib Abdullah membawa kepala kambing itu dan kembali meletakkannya di belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah terheran-heran menyaksikan akhlak Ba Misbah. Beliau berkata dalam hatinya, “Hanya seorang arifbillah saja yang akhlaknya seperti ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak melihat basyariah seseorang.”
Habib Abdullah diam di sana beberapa saat. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, ia segera kembali ke rumah Ba Misbah untuk yang ke lima kalinya. Beliau ingin melihat sedikit saja perubahan dari sikap Ba Misbah, walaupun hanya sekedar perubahan raut wajah. Beliau kembali mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa itu ?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Aku teringat satu lagi kebutuhanku.”
“Selamat datang wahai cucu Rasulullah. Kenikmatan apa gerangan yang diberikan Allah kepadaku di malam ini? Segala puji syukur bagi-Nya” Ia segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia seakan-akan baru pertama kali syarifah tersebut datang ke rumahnya.
“Selamat datang Ya sayyidatiy, dan penyejuk hatiku. Mintalah semua yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku patuh kepadamu.”
“Aku butuh kayu.”
“Marhaba.”
Ia memanggil pembantunya, meminta kayu.
“Wahai hababahku, wahai pelipur hatiku, inilah kayu yang kau butuhkan. Setiap kali kau ingat suatu kebutuhan, kembalilah ke sini. Sebab, melayanimu merupakan salah satu pendekatan diri yang paling baik kepada Allah.”
Habib Abdullah membawa kayu itu, lalu meletakkannya di tempat yang sama. Beliau kagum menyaksikan kebaikan akhlak Ba Misbah dan kelapangan hatinya. Tak sehelai rambut pun bergerak, tak sedikit pun raut wajah berubah. Beliau duduk sejenak hingga benar-benar yakin bahwa Ba Misbah telah pulas dalam tidurnya. Beliau kembali mengetuk pintu rumahnya untuk yang ke enam kali. Dalam hati, beliau berkata, “Mungkin kali ini raut wajahnya akan berubah, atau ia akan mulai menghina dan berkata kasar.”
Ba Misbah segera bangun dan bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi ke sini. Masih ada satu kebutuhanku yang baru kuingat sekarang.”
“Marhaba… Wahai hababahku, tuanku dan penyejuk hatiku.” Ba Misbah keluar dengan perasaan lebih senang dan bahagia dari sebelumnya. Seakan-akan baru pertama kalinya syarifah itu mengetuk pintu rumahnya.
“Alhamdulillaah, kenikmatan agung apa yang sedang diberikan Allah kepadaku ini. Aku tidak berhak menerima kenikmatan ini. Mintalah apa yang kau butuhkan. Wahai sayyidatiy, setiap kali kau ingat sesuatu, datanglah ke sini. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku akan patuh kepadamu.”
“Aku butuh seseorang untuk membawakan semua yang kau berikan kepadaku. Lihatlah, semua yang kau berikan kuletakkan di belakang rumahmu. Aku tidak kuat membawanya ke rumahku.”
“Beres! Kami akan mengantarkan barang-barang itu ke mana pun engkau suka.” Ia kemudian membangunkan isteri, anak dan pembantunya. Mereka semua kemudian diperintahkannya membawa barang-barang syarifah tadi.
“Ya sayyidatiy, jalanlah lebih dahulu, agar kami dapat mengikutimu” kata Ba Misbah.
Habib Abdullah berjalan di depan mereka. Ketika sampai di Nuwaidiroh, Habib Abdullah berhenti dan berkata, “Wah…, aku datang bukan dari rumahku, dan aku tidak kenal jalan ini, kecuali kalau aku memulai lagi dari rumah kalian. Mari kita kembali.”
“Marhaba….” Mereka semua kembali ke rumah Ba Misbah. Setelah sampai di sana, Habib Abdullah berkata, “Sekarang aku ingat jalan menuju rumahku. Inilah jalannya.”
“Jalanlah di muka…, agar kami dapat mengikutimu.” Beliau berjalan di depan, dan mereka semua mengikutinya. Sesampainya di Nuwaidiroh, beliau berhenti. “Aku kehilangan arah lagi. Apakah gerangan yang terjadi? Aku tidak dapat mengingat jalan menuju rumahku, kecuali jika kita mulai lagi dari rumah kalian. Mari kita balik ke sana.”
Mereka pun dengan senang hati kembali ke rumah Ba Misbah. Habib Abdullah telah menguji Ba Misbah sampai pada puncaknya. Beliau ingin melihat lelaki itu marah, namun sedikit pun sikapnya tidak berubah hingga Habib Abdullah sendiri merasa kelelahan. Fajar mulai menyingsing, Habib Abdullah berkata kepada mereka, “Sekarang telah masuk waktu fajar. Bukalah pintu rumah kalian, aku ingin menunaikan salat Subuh di rumah kalian.”
“Selamat datang. Salatmu di rumah ini adalah nikmat terbesar bagi kami. Setiap kali kau meminta sesuatu kepada pembantumu ini, ia akan menyediakannya untukmu. Meskipun kau minta semua yang ada di rumahnya, ia akan memberikannya kepadamu. Dan engkau sesungguhnya telah bermurah hati kepada kami, karena telah mengistimewakan aku untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Ba Misbah lalu membuka pintu rumahnya. Setelah memasuki rumah, Habib Abdullah membuka cadar yang menutupi wajahnya dan berkata kepada Ba Misbah, “Sungguh beruntung kamu..., sungguh beruntung..., kuucapkan selamat atas akhlakmu yang luhur ini. Demi Allah, kau seorang dermawan sejati, lebih murah hati dariku. Aku bukanlah seorang wanita. Aku adalah Abdullah bin Syeikh Alaydrus. Tidak ada seorang manusia pun akan mampu berperilaku dengan akhlak yang luhur ini.”
Air mata Habib Abdullah menetes di pipi, ia berkata, “Selamat… selamat… selamat… Maafkanlah aku. Semoga Allah menambah apa yang telah Ia berikan kepadamu, dan menjadikan budi pekerti kita seperti budi pekertimu…”
Setelah berpamitan, Habib Abdullah lalu pergi sambil memuji dan mendoakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar